-->

Hai!

Saya Mirza Bareza Podcaster

Kolaborasi Kontak

Fokusan

Public Speaking
Content Planning
Instagram Optimization
SAYA

MIRZA BAREZA

Content Creator - Podcaster

Ketertarikan saya pada internet dimulai sejak tahun 2009. Saat itu, mengulik media sosial bukan satu hal yang populer, dinilai buang-buang waktu. Walau demikian, saya percaya jika internet adalah masa depan. Melalui Podcast, saya berkarya di Youtube dan Instagram. Selain itu, saya kerap kali diundang dan juga mengadakan sharing pengetahuan terkait berkreasi konten digital. Hal ini juga mengantarkan saya untuk memiliki Creative Agency sendiri, NarezaCreative.com.

Kolaborasi

Workshop dan Seminar

Saya terbuka untuk sharing tentang media sosial dan kreasi konten

Content Support

Saya dan tim tersedia untuk mengelola konten sosial mediamu

Video Editing

Tingkatkan kualitas videomu to the next level dan rebut banyak perhatian

Kerja Sama Brand

Kolaborasi brand dengan cara yang kreatif dan menarik untuk sosmed user

Blog

Jogja dengan Seluruh Keindahannya yang Ngangenin

Disclaimer: Artikel ini adalah kerja sama dengan POST.APP.

Yogyakarta. Nama ini cukup membuatku teringat pada banyak kenangan. Yogya atau Jogja pernah jadi salah kota impianku sejak MA kelas 11. Saat itu, Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang bikin silau. Tapi nasib mengatakan yang lain, hatiku pasca lulus MA malah membawaku ke Malang.

Sebelum punya hobi nongkrong di depan PC, awal semester kuliah aku demen banget kalau ada ajakan ke Jogja. Ini karena aku masih belum ikhlas dengan nasib kuliah di Malang, haha~

Pantas memang, kalau orang-orang menyematkan Jogja dengan begitu banyak predikat. Mulai dari kota pelajar, kota sejarah sampai sebuah kota yang punya beragam mantra rindu. Apa ya, Jogja benar-benar persis seperti yang digambarkan Adhitia Sofyan lewat lagunya “Sesuatu di Jogja”. 

Daripada bepergian ke tempat wisatanya, aku lebih senang mengunjungi angkringan dan berjalan kaki atau naik dokar (Andong) keliling kota. Aku nggak ngerti kenapa Jogja begitu istimewa. Apa mungkin gara-gara aku dan kita semua sudah jauh meninggalkan budaya tradisional?

Hal yang membuatku makin merasa Jogja adalah aku ketika beberapa penjual masih mempertahankan kebiasaan masak secara tradisional. Misalnya masak nasi goreng dengan menggunakan arang sebagai sumber api. 

Aku punya kenangan, aku pernah besar dalam lingkungan tradisional di Banyuwangi, di sebuah desa bernama Benculuk. Mbah Uti (Nenek) dan Mbah Kung (Kakek) hampir selalu masak menggunakan tungku api untuk masak besar. Misalnya saat lebaran dan acara keluarga lainnya. Jadi tugasku dulu menyiapkan kayu-kayunya sebagai bahan bakar.

Photo by Lek Nikto on Unsplash

Saat berkuliner aku juga suka senyum-senyum sendiri kalau menemukan mbah-mbah yang masih menyimpan uangnya di balik baju, persis kayak Mbah Utiku! Aku juga selalu dibuat kagum pada penjual tradisional yang berhitung secara cepat dalam angan-angan, walaupun beberapa penjual lainnya sudah menggunakan aplikasi kasir. Namun tetap saja, aku kagum.

Di sudut lain Jogja, aku sering menemukan pertunjukan seni jalanan yang sayang banget kalau dilewatkan. Pertunjukan tersebut pun beragam. Ada tari, teatrikal sampai permainan musik dari pengamen jalanan yang total banget! 

Alat-alat musik yang dipakai pun juga beragam, kayak angklung, kulintang dan suling. Lagu-lagunya juga bikin pingin joged! Wkwk~

Terakhir ke Jogja itu tahun 2019 akhir. Saat itu aku masih magang di suatu kantor dan saat kantor ngadakan fun holiday ke Jogja, anak magangnya diajak! Yaaaaa akhirnya jadi kesempatan kangen-kangenan sama kota ini! Karena acara bersama, aku nggak bisa seenaknya. 

Jadi tetap harus ikut jalan-jalan ke tempat wisata sesuai dengan jadwal. Malamnya saat diberi waktu bebas kemana saja, aku langsung cari nasi Gudeg! Malam itu Malioboro pueeenuh! Tapi tetap menyenangkan.

Mampir dulu ke Candi Prambanan. (2019)

Kalau ditanya apa bosennya di Jogja aku akan jawab “Nggak ada!”. Beneran! Jogja itu komplit. Semuanya kenangan bisa diawali dan diakhiri disana. Walaupun punya hobi nongkrongin PC, khusus Jogja, kalau ada kesempatan dan tawaran untuk bepergian kesana setelah pademi ini, aku akan ambil!

Semoga pandemi ini cepat berlalu. 

Semoga kita bisa segera melakukan berbagai aktivitas dengan lancar dan baik. Tentu saja, semoga Jogja selalu menjadi kota kenangan dengan segala keindahannya.

Meski Pandemi, Produktivitas Berkonten Kreasi Jangan Kendor

Disclaimer: Artikel ini adalah kerja sama dengan GSI LAB.


Dari sekian ribu hobi di dunia ini, bagiku yang paling oke adalah hobi yang dibayar. Wk! Hobi ini pun juga terpecah lagi menjadi beberapa macam. Ada yang suka jalan-jalan ke tempat-tempat baru, wisata kuliner sampai yang “cuman” duduk di depan personal computer (PC) dan semua ini disponsori. Enak!
 
Dari semua hobi itu, aku paling demen duduk di depan komputer seharian. Internet bisa membawaku kemanapun ku mau. Ini keistimewaan yang nggak akan aku dapatkan dengan jalan-jalan ke berbagai tempat, makan dimanapun atau apapun, semua itu nggak akan menggantikan kenikmatan berinternet.

Kalau ngomongin tipe-tipe dan gaya orang dalam bekerja, aku mungkin masuk sebagai orang yang suka kerja indoor. Kerja indoor itu menyenangkan! Nggak perlu capek-capek berkeringat dan bersusah payah di luar.

Kalau diminta memilih antara tawaran traveling atau upgrade PC, aku pilih upgrade PC! Ngedit video atau tiket nonton, aku pilih edit video! Nulis blog atau jalan-jalan ke Mall, aku pilih nulis. Tapi bukan berarti aku nggak atau nggak suka sama sekali sama jalan-jalan. Ini kecenderungan memilih aja, sih. Haha, tenang, walaupun begini aku tetep punya temen kok.~

Entahlah, duduk dalam ruang dingin dengan internet cepat itu ibarat surga. Apalagi Kota Malang sekarang lagi dingin-dinginnya ditambah hujan juga! 

Jadi makin berpikir panjang untuk keluar kamar. Belum lagi, pandemi ini juga memberikanku begitu banyak pertimbangan untuk bepergian jauh. Apalagi bepergian itu nggak ada urgensinya sama sekali.

Pernah sekali ada acara keluarga di luar kota, nikahan keluarga yang terbatas. Sebenarnya agak khawatir, tapi untungnya protokol kesehatan bisa sedikit menyingkirkan kekhawatiran itu. Salah satunya dengan menjalani swab test.

Agak deg-degkan sebelum swab test gara-gara lihat video cara tesnya. Tapi setelah dijalani semuanya aman dan biasa. Jujur ini pertama kalinya swab test dan memang diawal sensasinya kaget, tapi bentar. YAAAA BAYANGIN AJA ADA BENDA ASING MASUK HIDUNG TIBA-TIBA. Wkwk~

Balik lagi, sebagai pemilik hobi duduk di depan PC, produktivitas adalah hal yang utama. Mungkin kamu punya hobi yang sama denganku, maka untuk memaksimalkan produktivitas dalam berkonten kreasi berikut ini beberapa saranku:

Extended Monitor



Dengan extended monitor, feel layar yang luas makin dapet! Hal ini berdampak banget sama kinerja yang makin kenceng. Sekali berkreasi, aku biasanya akan membuka BUANYAK aplikasi. 

Mulai dari Premiere, AI sampai jendela browser yang berderet. Semua ini kalau dilakukan di satu layar rasanya kurang banget. Itu kenapa extended monitor jadi salah satu hal yang mendukung produktivitasku.

Software Original



Masih jadi perdebatan antara Software Ori V.S Software non-Ori. Aku lebih mengambil jalan tengahnya. Software ori lebih baik menjadi pilihan utama bagi kita yang sudah profesional. Maksudnya, menghasilkan profit dari menggunakan software tersebut. Sejak awal 2020 aku mulai beralih menggunakan software ori. 

Bukan untuk gaya-gayaan, aku nabung. :’) Software ori bikin kita semakin produktif loh! Salah satunya, sejak pakai software ori, aku nggak pernah lagi ngalamin “Program Not Responding…”. Juga, tentu lebih tenang dalam berkarya karena nggak ngerasa “salah”.

Salah satu kendala waktu ngedit biasanya memang “program not responding”. Ngeselin banget! Apalagi kalau project-nya belum disimpan. Tapi sejak pakai software ori, masalah itu hilang. 
Baiknya menurutku, kalau kita sudah menghasilkan profit dari project yang dikerjakan melalui software tersebut, kenapa nggak kita tabung hasilnya untuk beli atau sewa yang asli?

Bikin Planning yang Jelas



Planning ini penting banget untuk berkonten kreasi. Melalui planning yang jelas, kita bisa memperoleh hasil yang jelas juga. Dengan planning, secara otomatis juga kita akan punya target. Menurutku dan usulku, jangan menjalani sesuatu dengan mengalir. 

Semua hal harus direncanakan dan kemudian diusahakan dengan sungguh-sungguh. Kalau sudah punya planning sebelumnya, sudah saatnya planning itu dijalani dengan baik.

Persisten dan Konsisten



Dua hal ini aku dapatkan saati ikut kelas public speaking. Pesisten adalah cara kita untuk meraih sesuatu dengan baik dan semakin baik. Lebih mudahnya, kita harus gigih untuk meraih hal yang sudah kita targetkan walaupun banyak kendala yang dilalui. Selain itu, juga perlu konsisten. Hal ini akan membawa kita pada keteraturan. 

Misal, harusnya kita punya kualitas yang sama baiknya ketika kita bicara di depan 5 orang dengan di depan 500 orang. Kalo kita beda, mungkin kita perlu bertanya pada diri, “Kenapa harus meremehkan salah satunya?”.

Gimana? Dari keempat itu ada yang kurang gak? Kalau masih ada yang kurang kasih tahu aku di kolom komentar ya, kamu boleh ceritakan versimu. Empat hal itulah yang terbukti bikin 2020-ku lebih bermakna karena aku punya progres atau kemajuan yang berarti. 

Semoga kamu pun begitu. Kondisi serba terbatas akibat pandemi ini jangan sampai juga membatasi kekreatifan kita. Stay safe, yuk taati protokol kesehatan dan jalani swab test sebelum bepergian jauh.

Apapun kendalanya, proses itu adalah segalanya. 

Bukan Cuma Kamu yang Pernah Kebingungan Cari Sandal Hilang, Orang-orang Abad Pertengahan Juga


Belum lima belas menit duduk nimbrung sebuah diskusi, tiba-tiba ada teriakan dengan suara yang melengking, “Kak, sandalku mana? Rek siapa yang tahu sandalku,” tutur seorang Immawati. “Mati kon, sandal maneh,” gerutuku.

Hilangnya sandal sudah menjadi misteri tersendiri di komisariat. Mulai dari sandal hijau lumut kebanggaan Indonesia, Swallow hingga sandal gunung Fiersa Besari, Eiger. Tak pandang bulu, mulai dari tamu sampai senior, semuanya pernah mengalami ini. Entah kemana larinya sandal-sandal tersebut.

Mungkin Gladys West suatu saat nanti bisa menginovasi sandal ber-GPS supaya para hamba yang kehilangan sandal bisa segera menge-chek melalui aplikasi.

Terkait misteri hilangnya sandal ini, ada dua kubu yang masih terus berdebat. Satu sepakat sandal milik bersama, satunya tak sepakat karena segalanya tetap milik pribadi dan mesti izin untuk menggunakannya.

Ketika memutuskan diri menjadi bagian dari komisariat, tentu saja banyak hal yang akan menjadi milik bersama. Mulai dari sabun mandi hingga uang bulanan kendaraan. Terdengar ekstrem memang. Namun bagi yang tinggal di komisariat, ini adalah hal yang biasa. 

Di sisi lain, hal ini saling menguntungkan. Bagi mereka yang tak memiliki kendaraan, akan dijemput atau bisa nebeng kemana-mana untuk berbagai urusan.  

Saat ini, sedang ramai konsep tinggal secara communal atau Co-Living. Seperti yang dibahas theatlantic.com dalam artikelnya yang berjudul The Hot New Millennial Housing Trend Is a Repeat of the Middle Ages, sebut saja, konsep ini ialah layanan berbagi kendaraan, pakaian bahkan rumah. 

Ini adalah konsep yang pernah terkenal pada abad pertengahan. Sebelum terkenal lagi di kalangan Millenial, Co-Living sudah menjadi bagian inti berjalannya IMM Renaissance FISIP UMM. Bukan hanya berbagi berbagai hal. Konsep komisariat tentu tidak sama dengan sekretariat atau kantor yang hanya berguna untuk rapat serta berkumpul. 

Komisariat menjadi wadah pengembangan diri sepenuhnya. Bisa rapat, makan bersama, hingga kajian. Masalah biaya? Tentu ditanggung bersama. Mulai dari biaya diri hingga biaya tinggal, mayoritas ditanggung bersama-sama. Bayangkan saja, kontrakan satu lantai tiga kamar seharga 16 juta tiap orangnya hanya  membayar 2 juta.

Tentu saja, ditanggung oleh 8 orang yang bersedia tinggal. Ini terhitung sangat murah dibandingkan kos sendiri yang bisa mencapai 4 juta. Belum lagi ditambah patungan dari Badan Pimpinan Harian (BPH) melalui koordinasi Bendahara Umum. 

Tempat yang biasanya ditinggali oleh “sebagian” besar pimpinan, kader baru dan demisioner ini adalah konsep yang sangat ideal untuk menekan pembiayaan hidup dan pendidikan di kota sebesar Malang. Selain itu, komisariat juga menjadi tempat ideal para mahasiswa yang ingin menjadi sekedar mahasiswa. Artinya, menjadi lebih baik bukan hanya baik. 

Dengan tinggal di komisariat, kita akan terbiasa dengan lingkungan yang sesak dengan diskusi, belajar dan belajar. Beragam hal yang dipelajari, mulai dari organisasi, filsafat, media, perkaderan dan hal-hal yang ingin dipelajari sendiri secara berkelompok.

Kembali kepada persandalan duniawi. Ketika sebagian besar barang menjadi milik bersama, tentu saja tetap ada hal-hal pribadi yang tidak bisa diganggu gugat. Misal sempa* dan sikat gigi. Ini tentu tetap menjadi barang pribadi, masa iya mau gantian~

Karena digunakan bersama-sama, maka ada berbagai resiko yang dihadapi. Apa saja? Salah satunya, rusak lebih cepat. Ini sering terjadi karena intensitas penggunaan barang yang sangat sering digunakan. Ngeselin sih pasti ya. Tapi, apa nggak pengen punya amal jariyah hasil kita mengikhlaskan berbagai barang yang bisa digunakan bersama-sama.

Bukan berarti membenarkan perilaku yang demikian. Tentu saja lebih baik jika saling menjaga agar barang-barang yang kita miliki awet muda tanpa menggunakan Pond’s Age Miracle. Mari saling membantu dan menjaga. Begitu kira-kira, saya mau beli sampo kucing dulu~

Pasca Pimpinan Nyatanya Lebih Berat, Seriuslah Jika Masih di Dalamnya


Beberapa bulan pasca menjadi pimpinan komisariat, aku masih agak kagok. Bagaimana tidak, biasanya selesai rapat jam 4-5 subuh, sekarang bisa tidur pulas mulai jam 10 malam. Belum lagi, jadwal kumpul dan ketemu orang yang begitu padat, pasca pimpinan semua itu berubah total.

Benar, saat menjalani itu semua, aku ingin semuanya segera selesai. Ingin semuanya cepat rampung dan menggelar musyawarah pertanggungjawaban pimpinan. Bagaimana tidak, sungguh lelah menjadi pimpinan. Harus mendengarkan sana sini, harus memikirkan kemaslahatan seluruh orang, belum lagi mengorbankan berbagai hal yang mungkin kita anggap sangat berharga.

Belum berproses di komisariat, aku begitu enggan keluar kamar. Karena ku pikir, kamar adalah surga terbaik di dunia. Aku bisa berkarya semauku, kapanpun dan bagaimanapun. Namun ini pola pikir ini berubah sejak berkomitmen menjadi pimpinan di komisariat.

Sungguh lelah memang. Waktu dan tenaga terkuras habis. Belum lagi otak diperas untuk kreatif dan berpikir visioner.

Dulu, saat melihat para demisioner, aku iri. Mereka santai dan rasanya tinggal memberi masukan. Enak sekali, tidak perlu rapat dan ikut ngonsep hingga subuh. Namun ini semua salah.

Setelah selesai menjadi pimipinan, keinginanku untuk buru-buru selesai benar-benar aku sesali. Banyak kenikmatan yang ku lewatkan dan tentu saja tak ku sadari. Semua proses yang ku lalui seperti angin, sekelebat.

Ini tentu menjadi penyesalan besar. Sekarang aku iri pada teman-teman berprosesku yang matang dalam berpikir dan bertindak. Mereka lebih mapan dalam melakukan berbagai hal. Kalau orang jawa bilang, "Wes jejeg,".

Dulu pula, sering ku dengar jika komisariat adalah laboratorium terbaik dibandingkan milik universitas. Apalagi bagi mereka yang punya fokus ilmu sosial dan politik.

Seandainya saja, dulu aku punya kesadaran yang baik untuk merampas semua ilmu di komisariat.

Mau tidak mau, aku saat ini telah menjadi demisioner. Terima tidak terima, aku ini demisioner. Nyatanya, menjadi demisioner tak semudah yang ku lihat dulu. 

Ku kira, para demisioner tinggal datang ke agenda, memberi masukan, kritik dan tinggal jadi pemateri. Nyatanya tidak demikian. Lebih dari semua itu! Dan tentu saja, sangat berbeda dengan ekspektasiku.

Semua kader ingin menjadi demisioner yang baik saat tiba waktunya. Namun tidak semuanya punya komitmen untuk terus memikirkan atau mendampingi adik-adik yang melanjutkan diri sebagai pimpinan.

Ini tentu menjadi momen yang berat. Beban yang begitu berat ini, harus dipikul oleh beberapa orang saja, padahal dulu banyak orang yang mau dan rela memikul. Namun tak apa, itu pilihan hidup. Bagiku, menjadi demisioner bukan sekedar titel. Bukan sekedar sebutan. Ada sebuah tanggung jawab besar di baliknya.

Yang dulu ku pikir menjadi demisioner itu santai, nyatanya tidak. Tiap menit, jam, hari dan bulan, aku terus kepikiran komisariat. Apa dan bagaimana komisariat bisa lebih maju dan semakin mewadahi. Inilah salah satu tanggung jawab moral yang mendarah daging

Tak dipungkiri, banyak pula demisioner yang memilih minggir pasca menjadi pimpinan. Merasa tugasnya telah usai, membawa sedemikian banyak ilmu tanpa ingat dimana ia mendapatkan banyak ilmu itu.

Bagi para pimpinan yang hari ini masih menjabat, di barisan kalian tentu ada beberapa orang yang mencoba untuk menjauh perlahan-lahan. Masing-masing yang bertanggung jawab atas pimpinan tersebut biasanya akan berasalan, "Anak itu baik dan bagus kok kalau diberi tanggung jawab,". Paham?

Dengarkan ini, amanah sebagai pimpinan adalah tanggung jawab. Tak perlu menunggu imbuhan tanggung jawab yang "kasat mata" baru kemudian disebut bagus dalam menjalankan peran diri sebagai pimpinan. Ia akan dimintai pertanggung jawaban dunia akhirat nanti.

Bagimu yang mencoba lari dari tanggung jawab, bolehlah engkau merasa bebas hari ini. Menjauh dan mengingkari ikrarmu sebagai seorang pimpinan bukanlah pilihan yang tepat. Jika sudah atau sedang kau lakukan, perbaikilah. Jangan sampai menyesal sepertiku.

Ingat, umat telah menunggu berbagai terobosan terbaikmu di masa depan. Banyak orang tak berkesempatan kuliah menunggu manfaatmu di esok hari. Jangan hanguskan harapan mereka karena hanya keegoanmu untuk mengurus tugas yang menumpuk. Ia menumpuk karena kau tak punya komitmen untuk menyelesaikannya.

Aturlah waktumu, kau sudah cukup dewasa untuk dibimbing tentang ini. Keduanya penting bagi dirimu. Jika kau pilih tugas saja, engkau akan menjadi orang yang tak mandiri. Jika engkau mengimbangkan keduanya tentu saja engkau akan jadi orang mandiri. Ini bukan jaminan, namun keniscayaan tentang berproses. Amal baik akan dibalas baik oleh-Nya.

Aku dan mereka punya baik dan buruk. Jangan diulangi apa yang salah. Lanjutkan yang baik, bila berkenan.

Jangan menggantungkan mimpimu pada kampus. Nama kampus hanya sekedar nama, jika engkau tak mampu bersaing, tentu akan mati cepat atau lambat. Engkau harus tentukan nasibmu sendiri. Jadilah driver bukan passenger. Kampus ibarat terminal, masing-masing kita diberi pilihan. Ingin menumpang atau mengendarai. Tersedia puluhan armada berbentuk prodi dan fakultas untuk menuju berbagai tujuan yang kita inginkan. Jika engkau memilih menjadi passenger, engkau tak akan peduli si driver lewat mana, asalkan sampai.

Ini terjadi pada engkau yang hanya nggetu tugas ae. Padahal engkau punya tanggung jawab pula sebagai pimpinan. Jadilah driver, engkau akan memilih berbagai jalan agar sampai pada tujuanmu. Bila jalan A macet, engkau bisa pilih jalan B hingga Z. Engkau akan tahu dan berpikir, lewat serta bagaimana agar dapat sampai ke tujuan.

Jangan ulangi kesalahanku sebagai seorang pimpinan yang tak serius berpraktek, dulu. Mungkin aku terlihat sering jengkel dan marah, aku atau kami hanya ingin engkau tak sesat di jalan serta masuk ke lubang kesalahan yang sama seperti kami.

Terkadang, saat engkau diam dan tak ingin berbagi cerita tentang apa yang kau alami, dalam hati, kami bersedih. Kami ingin tahu, keseruan apa yang telah kau alami. Rintangan apa yang membuatmu selalu bersedih hati dan hal apa yang membuatmu begitu lazy untuk bergerak, semisal.

Ku tahu semua ini kembali pada Tuhan. Kami hanya berusaha mengingatkanmu, hanya Tuhan dan dirimu yang tahu engkau akan berubah atau tidak. Mudah-mudahan akan terus menjadi lebih baik. Bersemangatlah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, meraih kebermanfaat sesama manusia kini dan nanti~

Web Series - Jatuh Bangun Skripsi


Awalnya, ini hanyalah sebuah konten untuk menghibur mahasiswa yang tidak pulang kampung ketika libur lebaran tiba. Namun, perlahan-lahan video ini terus difollow-up menjadi sebuah Web Series yang diatayangkan untuk memeriahkan tiap kali wisuda digelar. Selama hampir satu setengah tahun aku menjadi Part Time di Humas UMM. Disitulah aku menjadi bagian kecil yang membuat hingga menjadi talent dadakan. Ini salah satu konten video bersambung yang ditayangkan UMM melalui kanal Youtube dan Instagramnya.

Mudah-mudahan suka :D

EPISODE 1

EPIDOSE 2

EPIDOSE 3


EPISODE 4 - FINAL


Bertumbuh dan Berkembang


Tiap manusia akan berubah. Entah fisik atau nasibnya, intinya berubah. Kalau sama saja berarti bukan manusia. Wong lelembut aja juga bisa tua.

Perkembangan yang terjadi pada setiap pribadi bisa berangkat dari diri sendiri atau bertolak dari keterpaksaan. Kita yang ingin terus meng-upgrade diri menjadi pribadi yang lebih bermanfaat tentu akan terus berusaha memperbaiki diri. Yang bertolak dari keterpaksaan, biasanya karena ada di posisi terjepit antara makan atau mati.

Kamu yang mana?


---------------------

Foto oleh:Foto oleh: Karina Vorozheeva

Pasca-Putusan MK, Waktu yang Pas Buat Kita Udahan


Saat membenci terasa nyaman. Saling menyakiti terlihat wajar, akan datang masa di mana kita hanya mampu berkeluh dan menyesal. Berharap doa dapat memutar waktu. Percayalah waktu masih tersisa. Percayalah hanya kita yang bisa beri nyawa segala harapan. |  Raisa - Nyawa dan Harapan
Barangkali lagu Raisa Bareza ini menjadi cermin bagi kita selama Pilpres ini. Katanya demokrasi, kok, berani bersuara dianggap mengganggu keamanan. Katanya bebas memilih, kok, menyatakan dukungan malah dimusuhi? Katanya islam, kok, isinya provokasi dan menghina dengan beribu macam kata kotor dan tak senonoh?

Kata Cak Nun dalam bukunya, Sedang Tuhan pun Cemburu, "Kita ini modern-intelektual, kok, nyatanya makin kewalahan dan makin bodoh dalam menjawab problem-problem..."(Pendakatan Remaja Terhadap Kultur Sosial Lingkungan (dari Seminar :Remaja Pranikah: hlm 164))

Sepanjang menjelang hingga setelah pemilihan 17 April lalu, di media sosial, kita bak burung bersahut-sahutan. Ngoceh terusss... Ada yang "menyamar" menjadi Intelektual, Ustadz hingga Cendekiawan.

Juga, selama ini kita terus-terusan saling mencurigai satu sama lain. Isi kepala kita hanya "jangan-jangan ...".


Kebiasaan Sembarangan yang Menggambarkan Sebuah Kemajuan atau Kemunduran


Di media sosial, kita dengan mudah melontarkan kata-kata yang tak jarang menyakitkan, entah sadar atau tidak. Media sosial bukan dunia maya :( Ia dunia nyata! Ini serius. Kebebasan itu tidak bebas sebebas-bebasnya. Ada batasan-batasan yang sering kali kita abaikan. Secara formil kita pun punya kebebasan yang dibatasi oleh UU ITE (Terlepas dari kontroversi UU ITE). Secara non-formal kita punya unggah-ungguh.

Sejauh ini, kita dengan mudah menghakimi seseorang tanpa paham-paham banget sebenarnya. Ya.. dalam setahun ini misalnya. Tinggal type dan tekan comment. Pandangan memang pandangan, bebas memang bebas. Namun apakah benar pandangan yang telah kita sampaikan?

Bukankah alat komunikasi semakin canggih? Namun nampaknya kita semakin mundur. Tidakkah alat komunikasi yang super pintar itu dapat membantu kita menggali beragam pengetahuan?

Kita egois hanya ingin eksis.

Pasca-putusan MK adalah momen kita kembali pada hakikat hidup kita bersama. Mau bertengkar tentang pilihan seperti apapun di pilpres lalu, tetangga tetaplah. Mereka orang terdekat yang akan siap siaga menggosip menolong kita. Mau ribut seperti apapun, pengedar sabu-sabu (sayur-sayuran buah-buahan) tetap jualan walau tiap hari diutangin. 

Bagi yang menang, ini amanah yang besar bagimu. Jangan semena-mena! Kamu hanya 5 tahun. Meminjam istilah Cak Nun, engkau hanya pegawai kontrak yang juga ditabarasi dua kali menjabat. Jangan buat rakyatmu susah, ingat, mereka yang memeras keringat demi buah hati dirumah dan masih harus melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Jangan elitis, engkau bekerja pada rakyat. Ojo mikire wetengmu ae.

Bagi yang kalah, ini adalah momen untuk menjadi pengawas berbagai kebijakan yang diberlakukan pemerintah yang terpilih. Jangan ngeyel. Ini sudah putusan tuhan juga. Tidak perlu bawa-bawa tuhan untuk membenarkan tindakan barbar-mu.

Bagimu pilar keempat demokrasi, Media Massa. Engkau menggunakan jalur milik hak rakyat. Sinyalmu hingga kabel-kabelmu di tanah, air dan udara rakyat. Maka berikan informasi yang benar. Berpihaklah pada rakyat. Jaga independesimu. Angkat berbagai kebenaran yang berusaha ditutup-tutupi penguasa. Kami percaya padamu.

Saatnya kita kembali sebagai manusia beradab. Manusia yang membawa manfaat dan tidak membuat takut lainnya. Menjadi manusia yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya. Bermanfaat tidak menunggu menjadi Ustadz, Kyai, Ketua RT, Gubernur, Youtuber Prank ataupun Presiden. Jabatan-jabatan itu akan tidak ada artinya bilamana kita dapat menjadi "teman" sesama manusia untuk menyelesaikan berbagai persoalan bersama.

Bagimu yang tertindas, pelototilah mata mahasiswa-mahasiswa itu! Tagihlah harapanmu pada mereka. Kau juga turut membayari kuliah mereka. Tagihlah itu supaya tak terbiasa memikirkan perutnya sendiri. Mintalah Perguruan Tinggi (PT) yang mengaku-ngaku terus menjunjung Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk mendidik dengan baik, bukan memanfaatkan mahasiswa atau bahkan menjadikan PT-nya bak industri. Tagih riset-risetnya untuk kebermanfaatanmu juga, agar tak melulu dipersembahkan kepada para kapitalis.

Sekali lagi, mari kita sudahi kebiasaan-kebiasaan menghina yang lama kelamaan menjadi nikmat, mungkin. Kita sudahi kebiasaan men-judge dengan sumber dan parameter "katanya".

Foto oleh: Dan Burton

Kontak

Kantor:

Surabaya, Jawa Timur