-->

April 17, 2019

Belajar Dari Affan dan Awi

Empat tahun sudah aku berproses di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Renaissance FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Ini bukan waktu yang sebentar. Apalagi, dua tahun setengah aku tinggal di Komisariat.

Kader yang tinggal di Komisariat silih berganti. Awalnya didominasi angkatan kuliah 2013, hingga saat ini didominasi angkatan kuliah 2014 dan 2015. Tentu saja aku menemui berbagai macam tipe orang. Pun demikian dengan perkembangan masing-masingnya.

Dua dari sekian banyak mereka adalah Affan dan Awi. Walau tidak begitu mengenal lebih jauh, aku memperhatikan sungguh perkembangan mereka berdua. Affan, ia telah berproses hampir empat tahun bersamaku. Orasinya dan suara lantangnya membunyikan Sumpah Mahasiswa tak sedikit membuat yang mendengarnya merinding.

Ia tak datang dengan rupa demikian. Dimasa awal, ia seorang pendiam atau hemat kalimat. Bukan karena menyimpan tenaga, tetapi tak tahu harus bertindak seperti apa. Tiap keputusan yang dibuat, hampir selalu payah. Seperti, ia pernah pergi bersama seorang demisioner, Mas Fajrin. Berdua menggunakan motor tanpa helm.

Dengan percaya dirinya Affan memacu motornya menuju komisariat dari arah Kota Malang. Mas Fajrin mengingatkan, "Fan jangan lewat Landungsari, ada polisi," katanya. "Gapapa Guru (Panggilan akrab Mas Fajrin) aman!," balas Affan. 

Nyatanya, mereka berdua ditilang oleh Pak Polisi. Pelanggaran tentu bisa ditebak. Iya, tak menggunakan helm.

Berbagai hal yang ia lakukan selalu saja payah. Hingga, ia dijuluki "Pethuk" (Geblek).  Ia terkenal dengan sebutan itu. Tentu saja hingga hari ini.

Aku tertarik menceritakan Affan karena ia salah satu mahasiswa yang patut dicontoh militansinya dalam berorganisasi. Perkembangannya sangat signifikan sejak pertama kali ia berproses di komisariat.

Peringainya yang apa adanya, dan entah, sepertinya ia tak tertarik dengan cinta-cinta anak muda. Entahlah, karena bernyali ciut atau apa, aku pun kurang mengerti.

Aku terbelalak pasca agenda yang ia gagas, Diklat Politik. Ia berucap terima kasih dan terus menguatkan kader-kader lainnya untuk istiqomah berproses. Hampir empat tahun kami bersama di Komisariat, aku tak pernah melihat ia sebijak itu.

"Terima kasih teman-teman sudah serius berproses. Segala kekurangan harus diperbaiki. Salam perjuangan!," ungkapnya dihadapan kami semua sembari meneruskan dengan menggaungkan Sumpah Pemuda.

Gerakan Mahasiswa bukan lagi hal yang asing bagi Affan. Ia sedikit banyak menguasai hal tersebut. Perannya di Komisariat memastikan seluruh kader memahami hakikatnya sebagai mahasiswa yang memiliki tanggung jawab sosial sebagai seorang intelektual. Juga memastikan setiap kader memiliki nalar kritis dan pisau analisis yang tajam.

------

Awi, nama lengkapnya Imam Achmad Baidlowi. Ia tidak tinggal di Komisariat. Namun aku tetap mengira ia tinggal di Komisariat. Awi mondok di pondok mahasiswa. Tiap malam ia jalani untuk mengasah kemampuannya berpikir. Diskusi dan membaca adalah rutinitas yang melekat pada Awi.

Kegiatannya sangat padat. Pagi hingga sore ia kuliah. Usai Maghrib ia mulai aktif bergeliat di komisariat. Kagiatannya di Komisariat biasanya selesai pukul 02.00 atau 03.00. Kemudian ia pulang ke pondok dan tidur. Pukul 04.15 ia harus bangun sholat subuh dan mengikuti pengajian rutin. Lalu ia lanjutkan dengan tidur dan sisnya bersosialisasi dengan kawan-kawannya di pondok. Begitu terus tiap harinya.

Aku tak pernah melihat wajah muramnya selama berproses. Ia termasuk orang yang terus optimis dalam setiap keadaan. Kadang, aku heran. Awi ini punya sedih apa tidak ya. Bila diberi kesempatan bertemu, kamu tak akan pernah melihatnya mengerutkan dahi. Selalu senyum dan tertawa. 

Kedua orang ini, tentu menjadi contoh yang amat baik bagi setiap orang dalam berproses. Istiqomah dan percaya pada diri sendiri adalah poin penting dalam hidup. Affan maupun Awi, terlepas sadar atau tidak, mereka adalah pribadi yang sangat menginspirasiku.

Mungkin kami memiliki tujuan hidup dan keinginan yang berbeda. Namun, nilai-nilai perjuangan hidup yang mereka semai selama ini berhasil menumbuhkan gairahku untuk terus berproses serius. Dan jujur pada diri, bahwa mimpi yang hendak diraih tentu saja tidak diraih dengan harga yang murah. Waktu tidur yang pendek, kritik hingga kecewa mungkin bayaran yang setimpal untuk tiap detak detik perjuangan.

2 komentar:

  1. Bagiku, kritik dan kecewa bukan bayaran yang setimpal untuk orang dengan semangat juang dan militansi tinggi. 2 hal itu hanya bumbu wajibnya. Bayaran setimpal yang tepat adalah mereka akan menjadi orang yang sangat diperhitungkan di masa depan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat Mas Rajih hehehe :D Bener banget. Kecewa memang hanya bumbu yang membuat semakin sedapnya sebuah proses.

      Hapus

Kontak

Kantor:

Surabaya, Jawa Timur