Tauladan yang Tinggal Tauladan
“Apa itu pahlawan?” tanya Pandji
Pragiwaksono kepada para penonton di suatu kesempatan. “Bagi saya, memaknai pahlawan itu simpel.
Mobil saya mogok tengah malam. Kemudian saya telepon teman saya dan temen saya
nyamperin untuk membantu saya. Bagi saya dia adalah pahlawan, karena ia rela kehilangan kenyamanannya demi kenyamanan saya,” tuturnya. Itulah yang juga dilakukan pahlawan-pahlawan lainnya.
----------
Smartphone-ku panas. Xiaomi memang begitu,
dipakai mengerjakan hal yang berat hampir selalu overhead. Bukan tanpa sebab.
Berkali-kali ku telepon teman-temanku, tak diangkat jua.
Sibuk ku pikir. Sambil menunggu jeda waktu,
ku geser room chat-ku ke kanan. Mengarah ke story. “Alamak! Update dia! Semenit
lalu pula!” ungkapku seraya menahan jengkel.
Jempol tangan ku kerahkan untuk
mengungkapkan segala “kemangkelan” ini. Seluruh isi selokan dan bak mandi ku
keluarkan. Semenit kemudian, aku telah menyelesaikan dua paragraf ungkapanku.
Ku urungkan diri untuk mengirimnya. “Gak
ngefek plus gak jelas,” kataku dalam hati.
Seandainya dulu, Bung Tomo memilih makan
lontong balap daripada pidato di radio, tentu semangat para pejuang tak sehebat itu.
Seandainya Cut Nyak Dhien lebih memilih
bersandar di kamar tidurnya agar sembuh sakitnya, tak akan mungkin perjuangan
masa lalu akan terus berkobar.
Seandainya, Soekarno lebih memilih menjadi
pandai sendiri saja tanpa mau membebaskan nasib saudara-saudaranya yang tertindas, tentu kita tak akan pernah merasakan merdeka.
Tauladan tinggalah tauladan. Terlalu lama
sepertinya kita terbuai dalam timang-timang kenikmatan. Itulah mengapa, banyak membaca, banyak
diskusi, banyak belajar tetapi karya satu pun tak punya.
Ilmunya lebih banyak digunakan untuk gengsi bahkan parahnya kalau dibuat ngibuli. Hanya memperkokoh statusnya saja sebagai orang yang
berpendidikan. Efeknya? Nol!
Yaa Rahman. Aku bukanlah orang yang paling
mulia. Aku hanya sebintik noda dalam luasnya semestamu.
Ilmu amaliyah, amal ilmiah. Tentu saja ini
bukan sekedar jargon yang enak diucapkan karena selaras pelafalannya.
Lakoni itu!
Masalah itu pasti ada. Rasanya tak patut jika merasa paling sibuk dan paling mengerjakan banyak hal. Masalah itu pasti ada. Tapi bukan berarti meninggalkan apa yang sudah diamanahkan dan belajar tanpa
mengamalkan.
Berproses itu nikmat. Jika dijalankan dengan tidak main-main. Namun memang berat, karena perlu dedikasi dan keseriusan yang tinggi. Ku pikir, semuanya bisa menjalani itu, bila mau.
Kejarlah akhirat, dunia akan mengikuti. Seriuslah berproses,
kemampuan-kemampuan lainnya akan niscaya menghampiri. Buktikan.
Jangan sampai, tauladan tinggal tauladan.
Bila demikian, pada akhirnya tak ada bedanya dengan museum. Ia hanya menjadi wahana wisata, bukan menjadi
tempat merefleksikan diri. Padahal kita semua sebenarnya terlahir sebagai bibit mahluk yang
bermanfaat untuk mahluk lainnya.
Man Rabbuka? Man Nabiyyuka?
Mari buktikan bersama-sama, bila kita bisa menjawab pertanyaan tersebut.
0 comments:
Post a Comment