Bukan Saatnya Lagi Kita Begitu
Tiap dari kita punya posisi strategis
dalam memandang sesuatu. Kanan, kiri, bawah hingga dalam. Itulah cara pandang.
Lensa matamu menarik garis lurus yang mengisyarakatkan pada otak agar merekam.
Bibirmu bergeming, suatu wujud nyata perlawanan dalam diri.
Siapa yang bisa menilai ini dan itu
benar? Siapa yang bisa menghakimi ini salah, itu salah?
Sebagai fitrah, manusia memiliki welas
asih (kasih sayang) pada apapun dan siapapun. Tentu kita "eman", bila
harus kehilangan status yang sudah kita perjuangkan dan pertahankan.
Keserakahan juga suatu bentuk welas asih, pada siapa? Pada diri sendiri. Lalu
apa yang tidak welas asih? Pakaian, juga bentuk welas asih kita pada raga yang
diberikan Sang Rahim kepada kita. Namun, jujur saja, kita sering
berlebih-lebihan.
Kita ini lucu. Sibuk bersiteru pada hal
yang tak menentu. Hingga memaksakan semua hal menjadi boleh untuk dilakukan.
Padahal semua itu tak semestinya dilakukan seorang kita.
Pergolakan demi pergolakan membawa kita
pada muara saling benci. Andai saja persaingan-persaingan di muka bumi
dilakukan atas dasar fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Maka
seperti yang disampaikan Haedar Nashir, yang menang akan merasa memikul amanah
dan yang kalah lebih tuma'ninah. Betapa indahnya.
Ruang saling mencintai dan menghargai
sesama manusia luar biasanya sejuknya, lalu mengapa kita lebih senang berada di
ruang sesak penuh dengan hawa panas? Kepentingan apa yang ingin digapai?
Perbedaan harusnya membawa kita pada
tahap penyadaran diri akan kebesaran Sang Rahman. Betapa hebatnya Ia dalam
menciptakan beragam rupa dan isi kepala yang tak sama. Islam sebagai rahmat
alam tentu seharusnya tak menempuh jalur-jalur kekerasan dalam mencapai yang
katanya kedamaian. Manusia dianugrahi akal yang membedakan ia dengan mahluk lainnya.
Seandainya, tidak ada persaingan di muka
bumi, bukankah kita akan stagnan? Tak ada kompetisi dan tak ada cara mengukur
diri. Bukankah Sang Quddus telah menyatakan bahwa semua sama dihadapan-Nya.
Sudah saatnya memandang segala hal
dengan luas. Kita hidup bersama dan berdampingan. Tidak semua yang bertato
bertindak kriminal dan tidak semua yang berserban mengajak kepada-Nya. Juga
tidak semua yang hijrah benar-benar hijrah. Sangat disayangkan bilamana hijrah
kemudian dipersempit maknanya pada hal yang tampak saja.
Indonesia, Indonesia. Kita ini bukan
bangsa yang kecil. Kita bangsa yang besar dengan segala usaha nan ikhtiar yang
telah bersama-sama dilakukan. Menjelang satu abad Indonesia, tentu kita harus
lebih matang dalam berpikir dan bertindak. Sebagai sebuah negara yang memiliki
penduduk muslim terbesar pula, sudah pasti kita turut menjadi cerminan muslim
dunia.
0 komentar:
Posting Komentar