-->

Februari 28, 2019

Bukan Miskin, Tapi Dimiskinkan

Wajar macam apa yang nampak dari seorang pejabat publik, bermewahan di depan mata rakyatnya? Seorang abdi rakyat yang mestinya tahu diri atas posisinya. Tega macam apa yang sering dilakukan dengan sadar kepada petani hingga kaum miskin kota. Kami orang-orang lemah tak kebal hukum dan hidup penuh dengan asa yang digantungkan.

Kami salah apa sih? Ketika pemilihan umum, ya kami beri dukungan. Suara sudah diserahkan, dukungan sudah dinyatakan, ketika jadi, ya sama saja.

Keterlaluan tak tahu diri macam apa ini, bertolak pinggang di depan kami seolah dirimu bos. Padahal, sejatinya atasanmu ya yang di depan MATAMU. Tak tahu terima kasih macam apa ini. Anak keluargamu sudah dijamin hidupnya, tapi ya masih saja buat susah.

Aku tak paham, ini spesies mahluk apa. Hidungnya sibuk mencari parfum wangi terbaik, sedangkan parfum kelek bosnya sendiri tak pernah tahu baunya seperti apa. Ya dari keringat kelek ini kamu bisa terus merasakan hidup nikmat. Akal macam apa sih ini? Bukankah Sang Rahman memberikan akal pada seluruh hambanya supaya berpikir. Mengapa hanya digunakan sebagai hiasan?

Aku tak paham dengan ini logika macam apa ini. Jika mau kaya katanya harus kerja keras dan jangan malas. Bapakku ke sawah tiap usai subuh dan pulang duhur, lalu kembali lagi ba’da duhur, tapi gak kaya-kaya. Pakdhe nyapu-ngepel tiap hari di sebuah perusahaan di Cibinong dan tak pernah bolos, ya tiap hari masih aja dikejar-kejar debt collector.

Gimana caranya jadi kaya? Kerja keras? Bukan. Sepotong janji dimasukkan ke dalam kuah yang dibumbui retorika apik, tunggu beberapa saat. Kemudian diangkat dan hidangkan dengan taburan ketidakmaluan kemaluan.

Ramai-ramai hoax katanya. Jangan percaya hoax serunya. Ya sebenarnya tidak apa-apa. Tidak perlulah takut dengan hoax. Takutlah pada pendidikan yang tak bisa dijangkau dan seharusnya bisa dirasakan semua elemen. Nyatanya, kita hari ini membedakan hoax dan fakta saja tidak mampu. Konyol. Kemana hasil jerih payah kita? Kami kesal terlalu bodoh dan jadi mainan.

Opo sih gelemmu? Pajak ya ku bayar, supaya kamu tetap tentram memikirkan kami. Tapi kok yo sik tego membuat sebuah keluarga kecil yang tinggal di pinggiran sungai Berantas punya uang cuman 5000 sehari.

Agama yang selama ini mendamaikan ya juga ikut diseret-seret. Katanya kalau nggak pilih ini itu, kafir. Yaa Allah, kasihmu sesempit ini ya. Aku kira, Sang Raja yang tinggal diatas Arsy itu kasihnya luas tak terbatas, meski aku hanya bilang aamiin tiap kali dikomandoi imam. Aku lelah terlalu bodoh.

Menulis ini nanti dituduh kafir. Membawa-bawa petani dibilang komunis. Lantang dibilang ngono ya ngono tapi ojo ngono. Mengajak orang lain sadar, katanya usaha kudeta. DIAMPOT! Isok ae.

Tuhanku penguasa semesta alam. Agamamu bukan alat men-dogma kepentingan-kepentingan segolongan hamba-Mu ingin menyakiti hamba-Mu lainnya. Engkau sang raja dari segala raja. Bila saja, kasih sayang yang Kau semaikan kepada kami berupa buih di lautan, maka tambahkan buihan itu untuk terus melapangkan hati kami dalam setiap ujian.

Senyumkanlah kami dalam keadaan apapun. Ingatkanlah kami bahwa tak ada yang lebih kaya dan hebat melainkan Engkau. Kami tak tahu rupamu, tetapi kami yakin bahwa engkaulah yang terus memberi kami nikmat dan ujian. Maafkanlah kami bila pernah usil menyatakan diri kami baik atau paling baik diantara lainnya. Engkaulah tingkat tertinggi yang dapat menghakimi itu.

Saat ini, barangkali engkau terbahak-bahak menyaksikan kami yang “sok” hebat ini. Maafkan kami sekali lagi. Jika engkau sayang kepada kami, jika engkau mengasihi kami maka teruslah ada untuk kami. Ada untuk mendengarkan apapun keluh kesah kami sebagai khalifah fil ardh.

0 komentar:

Posting Komentar

Kontak

Kantor:

Surabaya, Jawa Timur