-->

Juni 29, 2019

Pasca-Putusan MK, Waktu yang Pas Buat Kita Udahan

Saat membenci terasa nyaman. Saling menyakiti terlihat wajar, akan datang masa di mana kita hanya mampu berkeluh dan menyesal. Berharap doa dapat memutar waktu. Percayalah waktu masih tersisa. Percayalah hanya kita yang bisa beri nyawa segala harapan. |  Raisa - Nyawa dan Harapan
Barangkali lagu Raisa Bareza ini menjadi cermin bagi kita selama Pilpres ini. Katanya demokrasi, kok, berani bersuara dianggap mengganggu keamanan. Katanya bebas memilih, kok, menyatakan dukungan malah dimusuhi? Katanya islam, kok, isinya provokasi dan menghina dengan beribu macam kata kotor dan tak senonoh?

Kata Cak Nun dalam bukunya, Sedang Tuhan pun Cemburu, "Kita ini modern-intelektual, kok, nyatanya makin kewalahan dan makin bodoh dalam menjawab problem-problem..."(Pendakatan Remaja Terhadap Kultur Sosial Lingkungan (dari Seminar :Remaja Pranikah: hlm 164))

Sepanjang menjelang hingga setelah pemilihan 17 April lalu, di media sosial, kita bak burung bersahut-sahutan. Ngoceh terusss... Ada yang "menyamar" menjadi Intelektual, Ustadz hingga Cendekiawan.

Juga, selama ini kita terus-terusan saling mencurigai satu sama lain. Isi kepala kita hanya "jangan-jangan ...".


Kebiasaan Sembarangan yang Menggambarkan Sebuah Kemajuan atau Kemunduran


Di media sosial, kita dengan mudah melontarkan kata-kata yang tak jarang menyakitkan, entah sadar atau tidak. Media sosial bukan dunia maya :( Ia dunia nyata! Ini serius. Kebebasan itu tidak bebas sebebas-bebasnya. Ada batasan-batasan yang sering kali kita abaikan. Secara formil kita pun punya kebebasan yang dibatasi oleh UU ITE (Terlepas dari kontroversi UU ITE). Secara non-formal kita punya unggah-ungguh.

Sejauh ini, kita dengan mudah menghakimi seseorang tanpa paham-paham banget sebenarnya. Ya.. dalam setahun ini misalnya. Tinggal type dan tekan comment. Pandangan memang pandangan, bebas memang bebas. Namun apakah benar pandangan yang telah kita sampaikan?

Bukankah alat komunikasi semakin canggih? Namun nampaknya kita semakin mundur. Tidakkah alat komunikasi yang super pintar itu dapat membantu kita menggali beragam pengetahuan?

Kita egois hanya ingin eksis.

Pasca-putusan MK adalah momen kita kembali pada hakikat hidup kita bersama. Mau bertengkar tentang pilihan seperti apapun di pilpres lalu, tetangga tetaplah. Mereka orang terdekat yang akan siap siaga menggosip menolong kita. Mau ribut seperti apapun, pengedar sabu-sabu (sayur-sayuran buah-buahan) tetap jualan walau tiap hari diutangin. 

Bagi yang menang, ini amanah yang besar bagimu. Jangan semena-mena! Kamu hanya 5 tahun. Meminjam istilah Cak Nun, engkau hanya pegawai kontrak yang juga ditabarasi dua kali menjabat. Jangan buat rakyatmu susah, ingat, mereka yang memeras keringat demi buah hati dirumah dan masih harus melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Jangan elitis, engkau bekerja pada rakyat. Ojo mikire wetengmu ae.

Bagi yang kalah, ini adalah momen untuk menjadi pengawas berbagai kebijakan yang diberlakukan pemerintah yang terpilih. Jangan ngeyel. Ini sudah putusan tuhan juga. Tidak perlu bawa-bawa tuhan untuk membenarkan tindakan barbar-mu.

Bagimu pilar keempat demokrasi, Media Massa. Engkau menggunakan jalur milik hak rakyat. Sinyalmu hingga kabel-kabelmu di tanah, air dan udara rakyat. Maka berikan informasi yang benar. Berpihaklah pada rakyat. Jaga independesimu. Angkat berbagai kebenaran yang berusaha ditutup-tutupi penguasa. Kami percaya padamu.

Saatnya kita kembali sebagai manusia beradab. Manusia yang membawa manfaat dan tidak membuat takut lainnya. Menjadi manusia yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya. Bermanfaat tidak menunggu menjadi Ustadz, Kyai, Ketua RT, Gubernur, Youtuber Prank ataupun Presiden. Jabatan-jabatan itu akan tidak ada artinya bilamana kita dapat menjadi "teman" sesama manusia untuk menyelesaikan berbagai persoalan bersama.

Bagimu yang tertindas, pelototilah mata mahasiswa-mahasiswa itu! Tagihlah harapanmu pada mereka. Kau juga turut membayari kuliah mereka. Tagihlah itu supaya tak terbiasa memikirkan perutnya sendiri. Mintalah Perguruan Tinggi (PT) yang mengaku-ngaku terus menjunjung Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk mendidik dengan baik, bukan memanfaatkan mahasiswa atau bahkan menjadikan PT-nya bak industri. Tagih riset-risetnya untuk kebermanfaatanmu juga, agar tak melulu dipersembahkan kepada para kapitalis.

Sekali lagi, mari kita sudahi kebiasaan-kebiasaan menghina yang lama kelamaan menjadi nikmat, mungkin. Kita sudahi kebiasaan men-judge dengan sumber dan parameter "katanya".

Foto oleh: Dan Burton

0 komentar:

Posting Komentar

Kontak

Kantor:

Surabaya, Jawa Timur