-->

Hai!

Saya Mirza Bareza Podcaster

Kolaborasi Kontak

Fokusan

Public Speaking
Content Planning
Instagram Optimization
SAYA

MIRZA BAREZA

Content Creator - Podcaster

Ketertarikan saya pada internet dimulai sejak tahun 2009. Saat itu, mengulik media sosial bukan satu hal yang populer, dinilai buang-buang waktu. Walau demikian, saya percaya jika internet adalah masa depan. Melalui Podcast, saya berkarya di Youtube dan Instagram. Selain itu, saya kerap kali diundang dan juga mengadakan sharing pengetahuan terkait berkreasi konten digital. Hal ini juga mengantarkan saya untuk memiliki Creative Agency sendiri, NarezaCreative.com.

Kolaborasi

Workshop dan Seminar

Saya terbuka untuk sharing tentang media sosial dan kreasi konten

Content Support

Saya dan tim tersedia untuk mengelola konten sosial mediamu

Video Editing

Tingkatkan kualitas videomu to the next level dan rebut banyak perhatian

Kerja Sama Brand

Kolaborasi brand dengan cara yang kreatif dan menarik untuk sosmed user

Blog

Bukan Miskin, Tapi Dimiskinkan


Wajar macam apa yang nampak dari seorang pejabat publik, bermewahan di depan mata rakyatnya? Seorang abdi rakyat yang mestinya tahu diri atas posisinya. Tega macam apa yang sering dilakukan dengan sadar kepada petani hingga kaum miskin kota. Kami orang-orang lemah tak kebal hukum dan hidup penuh dengan asa yang digantungkan.

Kami salah apa sih? Ketika pemilihan umum, ya kami beri dukungan. Suara sudah diserahkan, dukungan sudah dinyatakan, ketika jadi, ya sama saja.

Keterlaluan tak tahu diri macam apa ini, bertolak pinggang di depan kami seolah dirimu bos. Padahal, sejatinya atasanmu ya yang di depan MATAMU. Tak tahu terima kasih macam apa ini. Anak keluargamu sudah dijamin hidupnya, tapi ya masih saja buat susah.

Aku tak paham, ini spesies mahluk apa. Hidungnya sibuk mencari parfum wangi terbaik, sedangkan parfum kelek bosnya sendiri tak pernah tahu baunya seperti apa. Ya dari keringat kelek ini kamu bisa terus merasakan hidup nikmat. Akal macam apa sih ini? Bukankah Sang Rahman memberikan akal pada seluruh hambanya supaya berpikir. Mengapa hanya digunakan sebagai hiasan?

Aku tak paham dengan ini logika macam apa ini. Jika mau kaya katanya harus kerja keras dan jangan malas. Bapakku ke sawah tiap usai subuh dan pulang duhur, lalu kembali lagi ba’da duhur, tapi gak kaya-kaya. Pakdhe nyapu-ngepel tiap hari di sebuah perusahaan di Cibinong dan tak pernah bolos, ya tiap hari masih aja dikejar-kejar debt collector.

Gimana caranya jadi kaya? Kerja keras? Bukan. Sepotong janji dimasukkan ke dalam kuah yang dibumbui retorika apik, tunggu beberapa saat. Kemudian diangkat dan hidangkan dengan taburan ketidakmaluan kemaluan.

Ramai-ramai hoax katanya. Jangan percaya hoax serunya. Ya sebenarnya tidak apa-apa. Tidak perlulah takut dengan hoax. Takutlah pada pendidikan yang tak bisa dijangkau dan seharusnya bisa dirasakan semua elemen. Nyatanya, kita hari ini membedakan hoax dan fakta saja tidak mampu. Konyol. Kemana hasil jerih payah kita? Kami kesal terlalu bodoh dan jadi mainan.

Opo sih gelemmu? Pajak ya ku bayar, supaya kamu tetap tentram memikirkan kami. Tapi kok yo sik tego membuat sebuah keluarga kecil yang tinggal di pinggiran sungai Berantas punya uang cuman 5000 sehari.

Agama yang selama ini mendamaikan ya juga ikut diseret-seret. Katanya kalau nggak pilih ini itu, kafir. Yaa Allah, kasihmu sesempit ini ya. Aku kira, Sang Raja yang tinggal diatas Arsy itu kasihnya luas tak terbatas, meski aku hanya bilang aamiin tiap kali dikomandoi imam. Aku lelah terlalu bodoh.

Menulis ini nanti dituduh kafir. Membawa-bawa petani dibilang komunis. Lantang dibilang ngono ya ngono tapi ojo ngono. Mengajak orang lain sadar, katanya usaha kudeta. DIAMPOT! Isok ae.

Tuhanku penguasa semesta alam. Agamamu bukan alat men-dogma kepentingan-kepentingan segolongan hamba-Mu ingin menyakiti hamba-Mu lainnya. Engkau sang raja dari segala raja. Bila saja, kasih sayang yang Kau semaikan kepada kami berupa buih di lautan, maka tambahkan buihan itu untuk terus melapangkan hati kami dalam setiap ujian.

Senyumkanlah kami dalam keadaan apapun. Ingatkanlah kami bahwa tak ada yang lebih kaya dan hebat melainkan Engkau. Kami tak tahu rupamu, tetapi kami yakin bahwa engkaulah yang terus memberi kami nikmat dan ujian. Maafkanlah kami bila pernah usil menyatakan diri kami baik atau paling baik diantara lainnya. Engkaulah tingkat tertinggi yang dapat menghakimi itu.

Saat ini, barangkali engkau terbahak-bahak menyaksikan kami yang “sok” hebat ini. Maafkan kami sekali lagi. Jika engkau sayang kepada kami, jika engkau mengasihi kami maka teruslah ada untuk kami. Ada untuk mendengarkan apapun keluh kesah kami sebagai khalifah fil ardh.

Bukan Saatnya Lagi Kita Begitu





Tiap dari kita punya posisi strategis dalam memandang sesuatu. Kanan, kiri, bawah hingga dalam. Itulah cara pandang. Lensa matamu menarik garis lurus yang mengisyarakatkan pada otak agar merekam. Bibirmu bergeming, suatu wujud nyata perlawanan dalam diri.

Siapa yang bisa menilai ini dan itu benar? Siapa yang bisa menghakimi ini salah, itu salah?

Sebagai fitrah, manusia memiliki welas asih (kasih sayang) pada apapun dan siapapun. Tentu kita "eman", bila harus kehilangan status yang sudah kita perjuangkan dan pertahankan. Keserakahan juga suatu bentuk welas asih, pada siapa? Pada diri sendiri. Lalu apa yang tidak welas asih? Pakaian, juga bentuk welas asih kita pada raga yang diberikan Sang Rahim kepada kita. Namun, jujur saja, kita sering berlebih-lebihan.

Kita ini lucu. Sibuk bersiteru pada hal yang tak menentu. Hingga memaksakan semua hal menjadi boleh untuk dilakukan. Padahal semua itu tak semestinya dilakukan seorang kita.

Pergolakan demi pergolakan membawa kita pada muara saling benci. Andai saja persaingan-persaingan di muka bumi dilakukan atas dasar fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Maka seperti yang disampaikan Haedar Nashir, yang menang akan merasa memikul amanah dan yang kalah lebih tuma'ninah. Betapa indahnya.

Ruang saling mencintai dan menghargai sesama manusia luar biasanya sejuknya, lalu mengapa kita lebih senang berada di ruang sesak penuh dengan hawa panas? Kepentingan apa yang ingin digapai?

Perbedaan harusnya membawa kita pada tahap penyadaran diri akan kebesaran Sang Rahman. Betapa hebatnya Ia dalam menciptakan beragam rupa dan isi kepala yang tak sama. Islam sebagai rahmat alam tentu seharusnya tak menempuh jalur-jalur kekerasan dalam mencapai yang katanya kedamaian. Manusia dianugrahi akal yang membedakan ia dengan mahluk lainnya.

Seandainya, tidak ada persaingan di muka bumi, bukankah kita akan stagnan? Tak ada kompetisi dan tak ada cara mengukur diri. Bukankah Sang Quddus telah menyatakan bahwa semua sama dihadapan-Nya.

Sudah saatnya memandang segala hal dengan luas. Kita hidup bersama dan berdampingan. Tidak semua yang bertato bertindak kriminal dan tidak semua yang berserban mengajak kepada-Nya. Juga tidak semua yang hijrah benar-benar hijrah. Sangat disayangkan bilamana hijrah kemudian dipersempit maknanya pada hal yang tampak saja.


Indonesia, Indonesia. Kita ini bukan bangsa yang kecil. Kita bangsa yang besar dengan segala usaha nan ikhtiar yang telah bersama-sama dilakukan. Menjelang satu abad Indonesia, tentu kita harus lebih matang dalam berpikir dan bertindak. Sebagai sebuah negara yang memiliki penduduk muslim terbesar pula, sudah pasti kita turut menjadi cerminan muslim dunia.

Kontak

Kantor:

Surabaya, Jawa Timur