-->

Hai!

Saya Mirza Bareza Podcaster

Kolaborasi Kontak

Fokusan

Public Speaking
Content Planning
Instagram Optimization
SAYA

MIRZA BAREZA

Content Creator - Podcaster

Ketertarikan saya pada internet dimulai sejak tahun 2009. Saat itu, mengulik media sosial bukan satu hal yang populer, dinilai buang-buang waktu. Walau demikian, saya percaya jika internet adalah masa depan. Melalui Podcast, saya berkarya di Youtube dan Instagram. Selain itu, saya kerap kali diundang dan juga mengadakan sharing pengetahuan terkait berkreasi konten digital. Hal ini juga mengantarkan saya untuk memiliki Creative Agency sendiri, NarezaCreative.com.

Kolaborasi

Workshop dan Seminar

Saya terbuka untuk sharing tentang media sosial dan kreasi konten

Content Support

Saya dan tim tersedia untuk mengelola konten sosial mediamu

Video Editing

Tingkatkan kualitas videomu to the next level dan rebut banyak perhatian

Kerja Sama Brand

Kolaborasi brand dengan cara yang kreatif dan menarik untuk sosmed user

Blog

Pasca-Putusan MK, Waktu yang Pas Buat Kita Udahan


Saat membenci terasa nyaman. Saling menyakiti terlihat wajar, akan datang masa di mana kita hanya mampu berkeluh dan menyesal. Berharap doa dapat memutar waktu. Percayalah waktu masih tersisa. Percayalah hanya kita yang bisa beri nyawa segala harapan. |  Raisa - Nyawa dan Harapan
Barangkali lagu Raisa Bareza ini menjadi cermin bagi kita selama Pilpres ini. Katanya demokrasi, kok, berani bersuara dianggap mengganggu keamanan. Katanya bebas memilih, kok, menyatakan dukungan malah dimusuhi? Katanya islam, kok, isinya provokasi dan menghina dengan beribu macam kata kotor dan tak senonoh?

Kata Cak Nun dalam bukunya, Sedang Tuhan pun Cemburu, "Kita ini modern-intelektual, kok, nyatanya makin kewalahan dan makin bodoh dalam menjawab problem-problem..."(Pendakatan Remaja Terhadap Kultur Sosial Lingkungan (dari Seminar :Remaja Pranikah: hlm 164))

Sepanjang menjelang hingga setelah pemilihan 17 April lalu, di media sosial, kita bak burung bersahut-sahutan. Ngoceh terusss... Ada yang "menyamar" menjadi Intelektual, Ustadz hingga Cendekiawan.

Juga, selama ini kita terus-terusan saling mencurigai satu sama lain. Isi kepala kita hanya "jangan-jangan ...".


Kebiasaan Sembarangan yang Menggambarkan Sebuah Kemajuan atau Kemunduran


Di media sosial, kita dengan mudah melontarkan kata-kata yang tak jarang menyakitkan, entah sadar atau tidak. Media sosial bukan dunia maya :( Ia dunia nyata! Ini serius. Kebebasan itu tidak bebas sebebas-bebasnya. Ada batasan-batasan yang sering kali kita abaikan. Secara formil kita pun punya kebebasan yang dibatasi oleh UU ITE (Terlepas dari kontroversi UU ITE). Secara non-formal kita punya unggah-ungguh.

Sejauh ini, kita dengan mudah menghakimi seseorang tanpa paham-paham banget sebenarnya. Ya.. dalam setahun ini misalnya. Tinggal type dan tekan comment. Pandangan memang pandangan, bebas memang bebas. Namun apakah benar pandangan yang telah kita sampaikan?

Bukankah alat komunikasi semakin canggih? Namun nampaknya kita semakin mundur. Tidakkah alat komunikasi yang super pintar itu dapat membantu kita menggali beragam pengetahuan?

Kita egois hanya ingin eksis.

Pasca-putusan MK adalah momen kita kembali pada hakikat hidup kita bersama. Mau bertengkar tentang pilihan seperti apapun di pilpres lalu, tetangga tetaplah. Mereka orang terdekat yang akan siap siaga menggosip menolong kita. Mau ribut seperti apapun, pengedar sabu-sabu (sayur-sayuran buah-buahan) tetap jualan walau tiap hari diutangin. 

Bagi yang menang, ini amanah yang besar bagimu. Jangan semena-mena! Kamu hanya 5 tahun. Meminjam istilah Cak Nun, engkau hanya pegawai kontrak yang juga ditabarasi dua kali menjabat. Jangan buat rakyatmu susah, ingat, mereka yang memeras keringat demi buah hati dirumah dan masih harus melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Jangan elitis, engkau bekerja pada rakyat. Ojo mikire wetengmu ae.

Bagi yang kalah, ini adalah momen untuk menjadi pengawas berbagai kebijakan yang diberlakukan pemerintah yang terpilih. Jangan ngeyel. Ini sudah putusan tuhan juga. Tidak perlu bawa-bawa tuhan untuk membenarkan tindakan barbar-mu.

Bagimu pilar keempat demokrasi, Media Massa. Engkau menggunakan jalur milik hak rakyat. Sinyalmu hingga kabel-kabelmu di tanah, air dan udara rakyat. Maka berikan informasi yang benar. Berpihaklah pada rakyat. Jaga independesimu. Angkat berbagai kebenaran yang berusaha ditutup-tutupi penguasa. Kami percaya padamu.

Saatnya kita kembali sebagai manusia beradab. Manusia yang membawa manfaat dan tidak membuat takut lainnya. Menjadi manusia yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya. Bermanfaat tidak menunggu menjadi Ustadz, Kyai, Ketua RT, Gubernur, Youtuber Prank ataupun Presiden. Jabatan-jabatan itu akan tidak ada artinya bilamana kita dapat menjadi "teman" sesama manusia untuk menyelesaikan berbagai persoalan bersama.

Bagimu yang tertindas, pelototilah mata mahasiswa-mahasiswa itu! Tagihlah harapanmu pada mereka. Kau juga turut membayari kuliah mereka. Tagihlah itu supaya tak terbiasa memikirkan perutnya sendiri. Mintalah Perguruan Tinggi (PT) yang mengaku-ngaku terus menjunjung Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk mendidik dengan baik, bukan memanfaatkan mahasiswa atau bahkan menjadikan PT-nya bak industri. Tagih riset-risetnya untuk kebermanfaatanmu juga, agar tak melulu dipersembahkan kepada para kapitalis.

Sekali lagi, mari kita sudahi kebiasaan-kebiasaan menghina yang lama kelamaan menjadi nikmat, mungkin. Kita sudahi kebiasaan men-judge dengan sumber dan parameter "katanya".

Foto oleh: Dan Burton

Sudut Pandang [Monday Energy]


Dalam memandang sesuatu, kita seringkali absolut yang sebenarnya juga tidak benar-benar tahu. Seperti, kata susu yang tak jauh-jauh dari selangkanganisme. Apa ini merupakan hal yang selalu dikejar-kejar dan selalu menjadi pembahasan disetiap pembicaraan?

Jadi apa sebenarnya sushi susu itu? Kenapa jadi bias begini...

Tujuh hari dalam seminggu. Apakah ada hal baru yang telah kita lakukan bahkan temukan? Ataukah selalu muteeeer ae disitu-situ aja?

Lelah, malas hingga jenuh selalu saja menjangkiti. Yaaa mosok masalahnya itu-itu aja tiap menuju hari Senin? Itu masalah atau kebiasaan?

NB: Penulis bukan pendukung atau simpatisan iluminati. Foto itu memang mata sapi satu tapi punya gajah bukan lainnya.

Aku jadi ingat salah satu momen menggelikan. Aku turut dalam sebuah forum kajian keilmuan. Saat itu materi tentang pengantar filsafat.

"Apa yang ada dipikiranmu tentang filsafat?" Tanya pemateri pada seluruh peserta.

Ku kumpulkan seluruh tenaga, lalu ku ucapkan "SESAT!".

Jiwa militanku memberontak saat itu. Ngos-ngosan. Setelah ku jawab, pemateri itu hanya tersenyum kemudian menoleh dan mencari jawaban lain ke peserta berikutnya.

Dengan berjalannya waktu aku belajar. Perlahan-lahan aku memahami. Akhirnya pikiran tempurung ku yang beranggapan jika filsafat sesat itu pecah. Kenapa aku bisa bilang filsafat sesat?

Sebelum kuliah, aku sempat bermanin ke rumah seorang teman. Saat di kamarnya ia pun bercerita kalau dirinya dilarang kuliah sama orang tuanya. Ia mengatakan jika semua itu karena ia memilih jurusan filsafat. Orang tuanya tidak setuju. Bukan tambah pintar, pulang-pulang malah murtad.

Tanpa mencari-cari lagi, aku mengamini bahwa filsafat sesat. goblok~

Padahal, filsafat adalah induk semua ilmu. Yaa Allah. Untung aku udah sembuh.

Inilah yang menyebabkan banyak keributan. Entah langsung atau masif seperti di media sosial. Hampir selalu memperdebatkan berbagai hal yang sebenarnya tidak substantif. Itu karena cara pandang kita tidak luas.

Hal itu sama seperti saat kita melihat gajah. Dari depan, kita melihat belalai, mata dan gading lengkap dengan dua pasang telinganya. Teman kita dari belakang, melihat vantat dan buntut. Kemudian ketika bertemu, kita pun berdebat.

"Gajah itu punya belalai, mata, gading dan telinga,"

"Engga Cong! Gajah itu punya buntut dan vanthat,"

Begitu aja terus sampai Nobita ngisi kuliah tamu.

Senin esok adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Jika kebiasaan kita menyimpulkan berbagai hal hanya dari "katanya", tamatlah kita. Mungkin membaca atau bertanya pada yang mengerti bisa menjadi obatnya.

Mendengarkan "katanya" memang lebih mudah daripada harus bersusah payah mencari-mencari agar objektif. Tapi coba tanyakan pada dirimu, akan kah kita terus-terusan begini? Punya sudut pandang sempit yang dibiarkan terus menerus. Padahal, ada banyak sisi yang bisa menjadi sudut padang.

Mari berhenti menyimpulkan hal yang kadang kita tidak tahu. Mengira-ngira orang yang belum tentu seperti yang kita pikirkan. Atau menunggu-nunggu tanpa kepastian orang melakukan kesalahan.

Bacalah, diskusilah dan salah lah. Milikilah wawasan yang luas seluas samudra. Namun jika pengetahuan itu hanya untuk onani, ia tak lebih bermanfaat dari buih di lautan.
Foto oleh: Pexels.com 

Sistem Zonasi, Terima Kasih Ayah Ibu yang Sudah Memperjuangkan Kami


Sore itu kami sekeluarga wara-wiri kesana kemari. Adekku Zulfan akan masuk SMA. Untuk mempermudah pengurusan, ayah pun sudah membagi tugas masing-masing dari kami. Ibu, menghitung kemungkinan-kemungkinan kesempatan masuk di SMA mana saja, aku mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang sistem zonasi, ayah mempersiapkan dana dan adekku memperkuat mental dengan doa. Enak syekali~
Sistem zonasi saat itu menjadi sistem yang benar-benar baru bagi kami sekeluarga. Masa ayah, ibu hingga aku tidak demikian. Kami bebas memilih sekolah dimana pun kami mau. Namun, berbeda dengan adek. Ia harus bersekolah sesuai sistem zonasi atau bersekolah di sekitar tempat tinggal.

Katanya, sistem ini untuk menyamaratakan penyebaran siswa-siswi berprestasi di semua sekolah. Jadi, tidak ada lagi istilah sekolah terbaik, sekolah favorit dan lainnya.

Saat itu, pilihan sekolah adek tidak banyak. Pilihan utama memang di daerah tempat tinggal. Namun ada satu sekolah pilihan Zulfan yang membuat kami semua tertegun. "Aku pengen sekolah di luar daerah," katanya.

"Dimana?" sambut ibu.

"Terserah, pokoknya di luar Jember. Aku pengen punya pengalaman baru," jelasnya.

Ayah ibu belum memberi isyarat setuju. Mungkin, ayah ibu berpikir jika bersekolah di luar daerah, kesempatan diterimanya lebih kecil. Aku tahu betul mengapa adekku ini ingin bersekolah di luar daerah. Dugaanku, ia mencermati betul tiap cerita yang ku bawa dari Lamongan. Aku memang SMA di luar daerah. Panjang sekali ceritanya kenapa bisa begitu.

Aku selalu bercerita betapa enaknya sekolah di luar. Bisa menjadi diri sendiri, belajar mengurus diri hingga memulai kembali mengeksekusi berbagai keinginan. Aku yakin dia tertular.

Melihat keadaan ini, aku coba untuk meyakinkan ayah dan ibu. Ku sampaikan jika masing-masing dari kami punya mimpi sendiri-sendiri. Kami pun tahu apa yang ingin kami raih. Begitu pun dengan Zulfan. Ia punya ekspektasi ingin melatih kemampuan mengurus dirinya. Saat itu, tentu saja ayah ibu sudah membayangkan akan antre dengan orang tua lainnya. Untungnya, Zulfan tidak ingin sekolah di zonanya.

Akhirnya, ayah ibupun percaya dan sepakat.

Mulailah ibu menggunakan jurus jitunya. Ia menengadahkan tangan setelah tiga rakaat maghrib. Tampaknya ia meminta dengan cukup khusyuk.

Beberapa waktu kemudian, pengumuman penerimaan siswa baru tiba. Benar saja, adekku diterima di SMA 1 Nganjuk. Ini bukan SMA yang asing. Ibu lahir di kota ini, dan tentu alumni sekolah tersebut.

Setelah pengumuman itu, ibu berangkat menemani adek mendaftar ulang sekaligus silaturahmi pada Mbakyu-nya untuk menitipkan anaknya. Zulfan kemudian menjalani hari-hari dengan mengurus dirinya secara mandiri. Ia tak lagi diingatkan terus menerus. Pada akhirnya memaksa inisiatifnya untuk hidup.

Ia pun juga memaksa dirinya untuk mengenal lingkungannya. Berdamai dengan situasi yang barangkali tidak sesuai dengan kehendaknya. Dan tentu belajar berinteraksi dengan orang-orang di luar zona nyamannya.

Aku dan adekku memang satu kandungan. Namun kami tentu punya keinginan yang berbeda. Hal itulah yang "untungnya" ditoleransi oleh kedua orang tua kami. Ketika sistem zonasi sedang ramai menjadi perbincangan kembali, aku jadi teringat suasana mendaftarkan adekku dua tahun lalu.

Kini, kami berdua pulang ketika mendapat jatah libur rutin dari sekolah dan kampus. Selain itu jarang sekali kami pulang. Lebaran lalu, menjadi momen manis kami bersama selama satu minggu lebih. Ibu yang biasanya masak untuk berdua, akhirnya memasak untuk berempat. Ia mulai sibuk mengiris berbagai macam bahan masakan dan menyuruh anak-anaknya untuk melakukan ini itu.

Setelah kami pulang, ibu cerita jika ia bingung. Ia tiba-tiba merasa sepi sendiri. Ia kembali masak hanya untuk berdua dan tidak begitu sibuk kembali melakukan berbagai hal. 

Tentang Pilihan Orang Tua


Orang tua memang memiliki pengalaman yang lebih banyak dari pada anak-anaknya. Segalanya adalah empiris. Tidak semuanya benar dan bisa di-universal-kan. Rhenald Khasali, dalam bukunya yang berjudul Self Driving menjelaskan panjang lebar tentang memilih dan dipilihkan.

Ia menganalogikan sebuah burung yang dipelihara bertahun-tahun kemudian dilepaskan. Begitu burung itu dilepaskan, ia tidak dapat hidup dengan baik di alam nyatanya. Karena ia terbiasa diberi makan bukan mencari makan. Ia terbiasa menunggu makan, minum dan mandi dengan jadwal rutin.

Hal tersebut sama. Anak ketika tidak dilatih memilih dan bertanggung jawab sejak dini, ia akan terus-terusan menunggu pilihan yang menurut orang tuanya baik. Karena ia tak yakin pilihannya baik. Mulai dari fashion hingga potongan rambut.

Aku sering menemui teman-teman yang demikian. Tidak ingin melanjutkan organisasi karena di larang orang tua. Padahal ia tahu, jika ia perlu ilmu-ilmu dalam organisasi tersebut. Alasan tambahannya adalah tidak ingin durhaka dan melanggar larangan orang tua. Ia membiarkan dirinya larut dalam liang dogmatisme.

Padahal, ia yang tahu, ia yang akan menjalani hidupnya sendiri. Ia pun yang tahun apa yang ia butuhkan untuk dirinya.

Selain itu, ada juga yang rela mengambil jurusan pilihan orang tua karena ditakut-takuti tidak akan mendapatkan pekerjaan yang membawa "sukses" hingga tidak dibiayai kuliah.

Seandainya saja para orang tua mengerti apa yang diinginkan anak-anaknya. Baiknya, orang tua memberi palu keputusan kepada anak-anak untuk berlatih bertanggung jawab atas pilihannya, tidak akan ada yang namanya kebahagiaan versi orang tua lagi. 

Mungkin, bahagia bagi orang tua adalah menjadi pegawai atau PNS (ASN). Bagi anak sekarang, itu pekerjaan yang tidak seksi. Pilot sampai polisi bukan juga cita-cita favorit. Pilihan cita-cita semakin banyak sekarang. Mulai dari CEO, COO, UX, UI, Graphic Designer sampai Yochuber~

Bahagia bukan milik orang tua saja. Bahagia juga milik anak. Kemerdekaan memilih dan memilah adalah hal yang barangkali terpendam dalam diri anak yang terus menerus disimpan demi melegakan keinginan orang tuanya.

Sayang pada anak bukan berarti mengikatnya dalam mimpi-mimpi indah orang tua. Bahagia anak adalah bagaimana ia dapat bermanfaat bagi orang lain. Dapat menjadi pribadi yang baik dalam keluarga kecilnya dan ia sanggup menjadi pelopor berbagai perubahan kebaikan.

Terima kasih kepada ayah ibu yang terus memastikan kami baik-baik saja. Terima kasih atas kasih sayang engkau berdua. Namun, kami juga punya mimpi yang ingin kami ceritakan pada ayah ibu. We love you.

Photo by Brett Sayles from Pexels

Salah [Monday Energy]


Salah. Tiap kita tentu pernah bahkan sering melakukannya. Tidak ada manusia yang tidak pernah salah. Salah sebuah karunia-Nya. Salah juga sebagian dari kemuliaan manusia.

Namun demikian, salah masih sering menjadi hal yang sangat horor dari sebagian kita. Ia nampak begitu menakutkan sehingga harus selalu dihindari. Namun orang juga sering lupa jika film horor sering mengundang penasaran pemandangan antrian mengular di loket bioskop adalah hal yang lumrah.

Lalu kenapa harus takut salah?


Banyak dari kita ingin selalu tampil sempurna. Itu bawaan, tidak masalah. Namun apakah ingin selalu tampil sempurna kemudian membenarkan hal-hal yang salah?

Mengapa salah hampir selalu ditakuti oleh kita? Sedangkan ia adalah bagian dari sebuah proses.

Salah dan benar menjadi sebuah kesatuan yang tak lepas dari proses kehidupan. Terlebih, hidup ini adalah detik detak jantung yang terus berdetik dan berdetak.

Kita sepertinya memang gemar dianggap selalu sempurna oleh orang lain. Ini baik! Namun, ketika kita salah, apakah tidak sebaiknya kita mengaku salah? Tidak susah kan mengaku salah. Membuat hati lega dan membuktikan pada diri bahwa kita bisa legowo.

Salah pun menjadi sebuah pembelajaran diri bahwa kita ini manusia biasa yang penuh dengan kesalahan. Walaupun demikian, yang terbaik diantara kita adalah yang mau memperbaiki dengan bercermin.

Senin ini adalah waktu terbaik bagi kita untuk memperbaiki segalanya. Hal-hal yang kurang pas dan tidak baik di minggu lalu, mari diperbaiki mulai Senin ini.

Jika Senin ini kita melakukan kesalahan, coba akui kesalahan itu sebagai evaluasi diri. Jika Senin ini adalah upaya memperbaiki diri, maka salah akan selalu menyertai. Kita cintai diri dengan baik. Juga sayangi orang lain seperti kita menyayangi diri sendiri.

Permulaan minggu ini, mari ungkapkan dan tekadkan diri sebagai pioneer berbagai kebaikan yang mudah dijangkau terlebih dahulu.

Salah kita adalah momen terbaik untuk belajar tentang hidup ini penuh dengan hal yang tak kita ketahui. Kita hanya merencanakan. Dia Esa dan ekseskusi lah yang kan menjawab.

Photo by Leo Cardelli from Pexels

Media Sosial Dibatasi Karena Kita Lagi Kaget Teknologi, Bener?



Menjelang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sidang sengketa Pilpres Prabowo Subianto - Sandiaga Uno dan Joko Widodo - K.H Ma'ruf Amin 14 Juni 2019 ini terdengar desas-desus media sosial dibatasi kembali. Tak lain dan tak bukan untuk mencegah tersebar luasnya hoax. Mahluk media sosial mulai sakau. Emm.. Mamam!


Namun nyatanya hal ini tidak benar adanya. Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengkonfirmasi jika tidak akan ada pembatasan 14 Juni. Tetapi, jika ada kegiatan ekstrem kebijakan itu akan diberlakukan kembali.

Sebagai salah satu pengguna WhatsApp (WA) dan Instagram (IG) aktif, baik untuk bekerja atau hiburan aku pun merasakan dampak dengan adanya pembatasan yang pernah dilakukan pemerintah pada 22-25 Mei lalu. 

WA semisal, aku menggunakan layanan perpesanan ini untuk mengirim gambar, menyetor dan mengkoreksi berita yang telah kususun untuk diberikan kepada redaktur. Ketika lenggang, IG menjadi media sosial favorit untuk menghibur diri atau sekedar mencari informasi terkini. 

Aku pun paham bagaimana susahnya para pelaku usaha yang menggantungkan hidupnya pada dunia digital melalui berbagai platform. Pun demikian dengan segenap warganet, mahluk unyu dengan kekuatan jarinya yang menggemaskan yang rela-rela download VPN untuk stay update, pamer kalau tetep bisa medsos-an walau dibatasi.

Sebagai sebuah Ibukota, kabar apapun dari Jakarta akan selalu menjadi berita nasional. Misal, kasus Ahok lalu. Sebenarnya yang memiliki permasalahan adalah warga Jakarta dengan pimimpinnya sendiri. Namun demikian, daerah-daerah lain juga mengetahui, update kabar tentang kasus Ahok hingga turut turun jalan. Tak heran jika posisi Gubernur Jakarta selalu menjadi rebutan karena secara popularitas terjamin.

Aksi damai yang berujung aksi kerusuhan 22 Mei lalu menjadi warning sepertinya bagi masyarakat bahwa pemerintah benar-benar memperhatikan perkembangan dunia digital terlebih karena membawa dampak nyata. Hal tersebut sepertinya dipelajari betul-betul oleh pemerintah pasca Aksi Bela Islam 2016 lalu.

Baca juga: HAK KOREKSI, CARA MENGAWAL MEDIA MASSA

Media sosial meledak pasca tahun 2014. Secara mayoritas masyarakat memiliki media sosial yang diakses dari berbagai perangkat sewaan, angsuran sampai milik sendiri. Selain gratis dan tak terbatas waktu serta tempat, media sosial menjadi alat baru yang efektif untuk memobilisasi massa.

Dimulai dengan fanspage hingga menjadi sebuah komunitas utuh yang membawa dampak riil. Ditambah lagi menjamurnya media online dengan berbagai nama daerah hingga berbau sektoral seperti politik maupun ekonomi.

Lompatan teknologi inilah yang menjadikan kita, masyarakat Indonesia sebenarnya kaget. Bagaimana tidak, dari sebuah teknologi elektronik TV tiba-tiba masuk ke era media digital. Kekagetan ini lumrah seperti konversi minyak tanah ke Gas LPJ beberapa tahun lalu. Apa yang terjadi saat itu? Berita tentang gas meledak selalu mewarnai televisi tiap waktu. Inilah yang juga terjadi saat ini.

Sepanjang 2014 sampai hari ini, banyak yang terjerat UU ITE, ada juga yang saling tuduh atas pencemaran nama baik dan banyak juga yang tergila-gila dengan ketenaran sampai-sampai panjat sosial ~ 

Namanya juga baru merebak. Istilah yang sedang tenar dikalangan millenial saat ini diantaranya influencer, content creator, vlogger sampai youtuber. Era 2009 sampai 2013 masih sedikit sekali yang memahami istilah-istilah tersebut. Sampai akhirnya lima tahun kemudian istilah-istilah tersebut menjadi familiar ditelinga kita hari ini. Namun apakah influencer benar-benar siap meng-influence dengan baik? Ku kira salah seorang influence terbaik sepanjang masa yang terus diberi kesehatan hari ini salah satunya adalah Cak Nun. 

Sebagai penjaga keamanan negara, barangkali pemerintah tak ingin luput dari lezatnya bakso malang berbagai percobaan-percobaan yang mengancam negara. Namun, perlu sikap ini pun harus dikawal oleh masyarakat dengan baik. Pendidikan dan sosialisasi menggunakan media sosial sebagai peningkatan kualitas diri perlu digagas, karena 10-20 tahun kedepan para millenial lah yang akan memegang sebagian kendali. Terlebih generasi 90'an hari ini.

Apakah pembatasan akan selamanya diperlukan? Sepertinya tidak. Jika mayoritas masyarakatnya mampu berliterasi media dengan baik dan tidak melulu nonton Kimihime menggunakan teknologi informasi untuk hiburan.

Photo by:
Photo by Fancycrave.com from Pexels

Referensi:

Di Airy Rooms Menikmati Voucher Menginap dari Google Maps



Sudah sejak 2017 aku sudah jadi Local Guides - Google Maps. Apa itu? Jadi kalau kamu search suatu tempat di Google Maps (GMaps), kemudian akan keluar foto-foto dan review secara detail tentang tempat itu. Maka itulah hasil kerja keras dan mungkin beberapa orang iseng yang berkontribusi sebagai Local Guides GMaps.

Dapat apa emangnya? Kok sampai rela meluangkan waktu untuk me-review dan ngefoto tempat-tempat yang dikunjungi?


Keuntungannya banyak banget. Kontribusi kita di GMaps akan dihargai melalui poin dan level. Jika sudah mencapai level tertentu, kamu akan berkesempatan untuk mendapatkan kiriman-kiriman voucher dari GMaps! Bisa berupa voucher menginap di hotel sampai belanja di e-commerce! Asyik kan?

Aku sering banget dapat voucher-voucher menginap di Airy Rooms, OYO ataupun Reddoorz.  Namun, seringkali juga aku tidak bisa menggunakannya karena masih banyak hal yang mesti dikerjakan. Jadi harus menahan diri. Padahal diskon menginapnya bisa 30-50%!

Di sisa libur lebaran ini, aku menyempatkan diri untuk menggunakan voucher kiriman GMaps untuk menginap di Airy Rooms. Aku memilih menginap Airy Syariah Lowokwaru Pisang Kipas A2 Malang. Kamar yang ku pilih adalah Studio Single Room atau untuk seorang aja.

Kesan pertamaku masuk area hotel adalah bagus, modern dan bersih banget!

Aku disambut dengan pelayanan yang ramah. Kemudian ditanyai atas nama pemesan dan dimintai KTP lalu diantarkan ke kamar.

Begini kira-kira kamarnya,


Studio Single Room ini memang cocok untuk orang-orang yang bepergian jauh sendirian. Jika kamu berdua atau lebih kamu bisa sesuaikan sendiri di aplikasi atau website Airy Rooms. Di Airy Rooms, ada tiga tipe kamar yaitu Eco, Standart dan Premier. Membedakannya cukup dengan melihat nama depan hotel tersebut. Misalnya Airy Eco Setiabudi Tengah 3 Jakarta. Dari nama saja sudah dapat dibedakan kisaran harga masing-masingnya. Premier untuk hotel bintang 4 keatas, Standar untuk hotel bintang 1 sampai 3 dan Eco berkualitas guest house dan residence. Begini lebih lengkapnya:

sumber: blog.airyrooms.com

Kembali lagi ke kamar yang aku sewa ya. Di kamar ini aku mendapat beberapa fasilitas yang cukup menunjang. Sebelumnya, Airy Rooms memiliki 7 standar yang pasti ada di setiap kamar yang mereka tawarkan. WiFi Gratis, TV Layar Datar, Air Hangat, AC, Tempat Tidur Bersih, Peralatan Mandi dan Air Minum Gratis. Lengkap yaa.. Begini kira-kira masing-masing fasilitas di kamarku.

Peralatan mandi yang bikin kamu nggak ribet bawa-bawa alat mandi setiap kali bepergian.

Kamar mandi yang nyaman.

Lemari untuk meletakkan barang-barang bawaan.

Ini lengkap seluruh controler AC sampai lampu.

Sambungan Telepon ke FO, Kotak Snack dan Minum. Dibelakangnya tersedia colokan dan lampu tambahan yang cantik.

Satu TV dengan berbagai chanel.

Dari sekian banyak fasilitas diatas, aku sedikit agak terganggu dengan nyamuk yang wara-wiri. Walaupun hanya satu tapi sangat mengganggu. Namun jujur aja, ini nggak mempengaruhi segala pelayanan dan fasilitas yang telah diberikan oleh Airy Rooms.

Nyamuk yang berhasil aku jinakkan. hehehe..

Itulah beberapa fasilitas yang aku dapatkan di kamar Studio Single Room. Berbagai fasilitas ini aku dapatkan dengan harga yang cukup terjangkau yakni 135.000 kemudian dipotong diskon 40% dengan voucher GMaps. Gimana? Patut dicoba dong. Cek dan download aplikasi Airy Rooms di App Store dan Play Store secara gratis! Kalau kamu tertarik ingin jadi Local Guides GMaps, lain waktu aku bahas ya. Aku merekomendasikan Airy Rooms untuk menjadi pilihan tempat menginapmu. So, selamat menikmati sisa liburan :)

Hak Koreksi, Cara Mengawal Media Massa


Aku ingin membagikan ceritaku tentang menggunakan Hak Koreksi sebagai pembaca yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Sebenarnya ini sudah lama sekali. Tepatnya 26 Juni 2018 lalu. Hampir setahun yang lalu ya, hehehe...

Aku ingat sekali saat Pak Abdi Purnomo atau akrab disapa Pak Abel (Anak mBeling, katanya) mengajar mata kuliah Hukum Media Massa. Beliau adalah jurnalis Majalah Tempo. Siapa dong yang nggak tahu majalah legendaris itu. Bangga dong diajar seorang jurnalis profesional, Tempo apalagi. hehehe...

Ada tiga hal yang sangat melekat saat saya mempelajari UU Pers. Hak Jawab, Hak Koreksi dan Hak Tolak.

Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.  Sedangkan Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Terkahir, Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. (UU Pers No. 40 Tahun 1999)

Masing-masing ketiganya aku telaah satu persatu. Jujur saja, setelah ketiga hak diatas ku pelajari, aku menjadi lebih jeli dan sedikit mengerti rule dalam dunia jurnalistik.

Aku akhirnya juga memperhatikan beberapa media dalam melaksanakan UU Pers. Tak jarang aku dibuat kagum oleh beberapa media yang mau dan rela mengakui kesalahannya dalam memberitakan suatu hal. Semisal Tirto.ID pada pemberitaan Urusan Pajak yang Masih Abu-abu pada Bisnis Youtuber yang dimuat 19 Februari 2018. Narasumbernya memberikan hak jawab. Tirto.ID kemudian memuat di laman yang sama dan tak lupa membubuhkan tanggapannya atas hak jawab tersebut.

UU Pers semestinya tidak hanya dipahami oleh seorang profesional dunia jurnalistik. Namun juga pihak-pihak yang ada di lingkaran media massa, ya institusi dan lain sebagainya. Aturan main dalam urusan setuju tidak setuju tentunya sudah diatur dengan baik melalui UU Pers. Bila hal ini tidak dipahami, bisa-bisa salah kaprah dan terkesan tidak berpengalaman menghadapi dunia media massa.

Jalan yang ditempuh ketika ada satu pihak yang merasa dirugikan, dapat melalui hak jawab. Walau beberapa orang juga mengeluhkan aturan ini. Dirasa, aturan ini tidak adil. Karena yang membaca dengan kesalahan belum tentu membaca lagi hak jawab pihak yang dirugikan walaupun dimuat di laman yang sama.

Ingat, ketika ada sengketa dengan media massa mengadunya bukan ke polisi namun kepada Dewan Pers. Dewan Pers adalah lembaga tertinggi yang menaungi pers. Ketika ada permasalahan dengan pers, maka yang berhak menangani adalah Dewan Pers.

----------------

Benar saja, beberapa bulan setelah tahu tetang tiga hak tersebut, aku mendapatkan kesempatan untuk menerapkannya. Saat itu aku membaca sebuah infografis berjudul Deretan Calon Kepala Daerah Tersangka Korupsi di kanal berita CNN Indonesia. Aku ingat, kasus korupsi oleh calon kepala daerah saat itu sedang hangat dibicarakan. Salah satu yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah calon Wali Kota Malang yang juga petahana, M. Anton atau lebih akrab disapa Abah Anton oleh masyarakat Kota Malang.

Aku coba memperhatikan satu persatu foto masing-masing kepala daerah. Mataku berhenti pada kolom foto Abah Anton. Namanya dan kejelasannya benar, namun fotonya salah. Sesegera saja ku cari email redaksi CNN Indonesia. Begini isi emailku.


Selamat Malam CNN Indonesia. Saya Mirza Bareza pembaca dan penonton setia CNN Indonesia. Saya mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang. 
Malam ini, saya membaca sebuah infografis di laman CNN terkait dengan Calon Kepala yg menjadi tersangka korupsi. Saya menemukan Kejanggalan pada foto M. Anton, petahana Wali Kota Malang. Saya merasa wajah wali kota Malang bukanlah itu. Melalui link berikut saya melihatnya: https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180626095058-15-309052/deretan-calon-kepala-daerah-tersangka-korupsi 
Sedangkan, wajah M. Anton yg saya ingat demikian: https://cdn.timesmedia.co.id/images/2018/03/27/HM-Anton-B.jpg
Barangkali dapat dikoreksi kembali. Terima kasih, selamat malam. 
Inilah kali pertamaku mengoreksi sebuah media massa. Apalagi sebesar CNN. Tanpa unsur tidak suka, aku mencoba untuk mengkoreksi apa yang mesti dibenahi. Sebenarnya pasca aku mengirim email ini aku tidak lagi mengecek perbaikannya secara berkala.

Tibalah pada 4 Juni 2019. Aku sedang membaca CNNIndonesia.com untuk mengaupdate suatu informasi. Tiba-tiba aku teringat pernah mengirim email pada redaksi CNN Indonesia. Benar saja! Aku coba buka laman infografis tersebut kembali. Aku kaget! Mereka benar-benar membenahi apa yang ku koreksi. Begini tampilannya.



Ternyata, sehari setelah ku kirim email, infografis tersebut langsung dibenahi. Tentu saja aku senang sekali bisa menerapkan apa yang sudah ku dapatkan. Buat kamu yang pernah melihat kesalahan atau hal yang kurang pas di media massa, tentu saja kamu bisa menggunakan hak koreksi. Silahkan menghubungi redaksi media tesebut dan lakukan koreksi.

CNN Indonesia dan Tirto ID aku kira cerminan media Indonesia yang mematuhi amanah undang-undang. Kesalahan itu mesti diakui, bukan disembunyikan atau malah mengelak. Dua media massa ini adalah contoh baik bagi media-media yang belum berbesar hati mengakui kesalahan sekecil apapun. Aku salut dengan sikap CNN Indonesia dan Tirto ID yang mau jujur atas kesalahannya, ditengah massive-nya tuduhan pers tidak independen dan selalu mencari-cari kesalahan.

Kesalahan itu mesti diakui, bukan disembunyikan atau malah mengelak.

Selesai Bukan Berarti Berhenti

Photo by Jonathan Chng on Unsplash

Kita tentu saja selalu mengalami sebuah perkembangan dalam hidup. Kita akan terus beranjak ke step berikutnya. Begitu pun dengan diriku. Mungkin enam tahun lalu aku masih kelas sepuluh MA. Mungkin sepuluh tahun lalu saya masih duduk nyaman tak memahami hidup ini harus bermuara dimana.

Selesai memang tidak berhenti. Boleh saja kita pensiun dari kantor. Namun apakah peran kita sebagai manusia selesai? Apa yang membuat kita selesai? Mati? Belum. Masih ada rentetan proses yang panjang menuju Jannah. 

Dua pekan lalu aku membacakan Laporan Pertanggungjawabanku (LPJ) dihadapan adik-adikku di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Renaissance FISIP UMM. Saat membaca LPJ tersebut, tak kuasa rasanya membaca cerminan praktek selama satu periode yang sengaja membiarkan diriku terkurung dalam ruang ketidakbecusan. Tidak semuanya jelek memang. Namun ini tetap menjadi penyesalan terbesar dalam memanfaatkan waktu.

Ketika ada pertanyaan, "Sudah dapat apa saja selama jadi pimpinan?". Seketika badan dan pikiranku menjadi panas dingin. Bibir tak sanggup bergerak, mengingat betapa meruginya diri menyia-nyiakan waktu yang begitu banyak.

Selesainya masa kepemimpinan ini sebenarnya adalah sebuah tanda jikalau aku tidak cukup baik dalam berteori dan praktek. Tentu saja ini menjadi hutangku pada tempat belajarku. Demi memperbaiki praktekku yang kurang baik, maka aku perlu mendampingi kepemimpinan berikutnya agar tidak mengulangi segala evaluasi yang telah kulakukan.

Inilah yang kemudian ku sebut selesai bukan berarti berhenti. Mungkin aku sudah selesai menjadi pimpinan. Namun tanggung jawabku sebagai seorang senior tidak bisa hilang begitu saja. Pun ini juga bukan seluruhnya demi membayar hutangku. Namun ini juga menjadi momenku lebih serius lagi berproses.

Sembari menyelesaikan part time dan skripsi aku tentu bisa menyisihkan banyak waktuku untuk mendampingi adik-adik belajar. Tak mudah memang, namun senior-senior sebelumnya juga dapat melakukannya dengan baik.

Dulu, aku pikir menjadi senior lebih enak karena terlihat tidak memiliki beban belajar yang sama dengan para juniornya. NYATA TIDAK! Menjadi senior tanggung jawab moralnya sangat besar. Selain harus selalu siap ketika diminta mendampingi, juga harus siap belajar lebih banyak agar ketika ditanyai junior-juniornya nggak malu-maluin. HAHAHA...

Setelah Ini Kemana?

Setelah ini tentu saja menyelesaikan skripsi yang telah lama menanti. Selain itu, aku juga ingin lebih mengembangkan Startup-ku. Membaca lebih banyak dan mengembangkan link. Lagi-lagi ini bukan hal yang mudah. Mesti dijalani dengan baik dan konsisten. Bismillah.

Kontak

Kantor:

Surabaya, Jawa Timur